Alexander Pertz Belajar Semua Agama Sendirian dan Menjadi Mualaf
Daftar Isi
Wartawan tersebut menceritakan keadaannya, seraya berkata ; ”Aku
sudah menduga dia menyebutkan tentang beberapa hal berkenaan dengan
kawan-kawannya, atau gurunya, sesuatu yang berkenaan dengan makan atau
minumnya, peci putih yang dikenakannya, ghutrah (surban) yang dia
lingkarkan di kepalanya dengan model Yaman, atau berdirinya di kebun
umum untuk mengumandangkan adzan sebelum dia shalat. Akan tetapi
jawabannya tidak disangka-sangka, dia dengan tenang bercampur penyesalan
mengatakan : ”Terkadang aku kehilangan sebagian shalat karena
ketidaktahuanku tentang waktu-waktu shalat”.
Wartawan (selanjutnya disingkat W) : ”Apa yang membuatmu tertarik
pada Islam? Mengapa engkau memilih Islam, tidak yang lain saja?”. Dia
diam sesaat kemudian menjawab.
Muhammad (selanjutnya disingkat M) : ”Aku tidak tahu, segala yang
aku ketahui adalah dari yang aku baca tentangnya, dan setiap kali aku
menambah bacaanku, maka semakin banyak kecintaanku”.
W : ”Apakah engkau telah puasa Ramadhan?”.
M – tersenyum – dan berkata : ”Ya, aku telah puasa Ramadlan yang
lalu secara sempurna alhamdulillah, dan itu adalah pertama kalinya aku
berpuasa di dalamnya. Dulunya sulit, terlebih pada hari-hari pertama”.
Kemudian dia meneruskan : ”Ayahku telah menakutiku bahwa aku tidak akan
mampu berpuasa, akan tetapi aku berpuasa dan tidak mempercayai hal
tersebut”.
W : ”Apakah cita-citamu?”.
M – dengan cepat ia menjawab – : ”Aku memiliki banyak cita-cita.
Aku berkeinginan untuk pergi ke Makkah dan mencium Hajar Aswad”.
W : ”Sungguh aku perhatikan bahwa keinginanmu untuk menunaikan ibadah haji adalah sangat besar. Adakah penyebab hal tersebut?”.
Ibu Muhamad untuk pertama kalinya ikut angkat bicara, dia berkata :
”Sesungguhnya gambar Ka’bah telah memenuhi kamarnya, sebagian manusia
menyangka bahwa apa yang dia lewati pada saat sekarang hanyalah semacam
khayalan, semacam angan yang akan berhenti pada suatu hari. Akan tetapi
mereka tidak mengetahui bahwa dia tidak hanya sekedar serius, melainkan
mengimaninya dengan sangat dalam sampai pada tingkatan yang tidak bisa
dirasakan oleh orang lain”.
Tampaklah senyuman di wajah Muhammad ’Abdullah, dia melihat ibunya
membelanya. Kemudian dia memberikan keterangan kepada ibunya tentang
thawaf di sekitar Ka’bah, dan bagaimanakah haji sebagai sebuah lambang
persamaan antar sesama manusia sebagaimana Tuhan telah menciptakan
mereka tanpa memandang perbedaan warna kulit, bangsa, kaya, atau miskin.
Kemudian dia meneruskan : ”Sesungguhnya aku berusaha mengumpulkan
sisa dari uang sakuku setiap minggunya agar aku bisa pergi ke Makkah
Al-Mukarramah pada suatu hari. Aku telah mendengar bahwa perjalanan ke
sana membutuhkan biaya 4 ribu dollar, dan sekarang aku mempunyai 300
dollar”.
Ibunya menimpalinya seraya berkata untuk berusaha menghilangkan
kesan keteledorannya : ”Aku sama sekali tidak keberatan dan
menghalanginya pergi ke Makkah, akan tetapi kami tidak memiliki cukup
uang untuk mengirimnya dalam waktu dekat ini”.
W : ”Apakah cita-citamu yang lain?”.
M : “Aku bercita-cita agar Palestina kembali ke tangan kaum
muslimin. Ini adalah bumi mereka yang dicuri oleh orang-orang Israel
(Yahudi) dari mereka”.
Ibunya melihat kepadanya dengan penuh keheranan. Maka diapun
memberikan isyarat bahwa sebelumnya telah terjadi perdebatan antara dia
dengan ibunya sekitar tema ini.
M : ”Ibu, engkau belum membaca sejarah, bacalah sejarah, sungguh benar-benar telah terjadi perampasan terhadap Palestina”.
W : ”Apakah kau mempunyai cita-cita lain?”.
M : “Cita-citaku adalah aku ingin belajar bahasa Arab, dan menghafal Al-Qur’an”.
W : “Apakah engkau berkeinginan belajar di negeri Islam?”.
Maka dia menjawab dengan meyakinkan : “Tentu”.
W : ”Apakah engkau mendapati kesulitan dalam masalah makanan? Bagaimana engkau menghindari daging babi?”.
M : ”Babi adalah hewan yang sangat kotor dan menjijikkan. Aku
sangat heran, bagaimanakah mereka memakan dagingnya. Keluargaku
mengetahui bahwa aku tidak memakan daging babi, oleh karena itu mereka
tidak menghidangkannya untukku. Dan jika kami pergi ke restoran, maka
aku kabarkan kepada mereka bahwa aku tidak memakan daging babi”.
W : ”Apakah engkau shalat di sekolahan?”.
M : ”Ya, aku telah membuat sebuah tempat rahasia di perpustakaan yang aku shalat di sana setiap hari”.
Datanglah waktu shalat maghrib, maka dia melihatku seraya berkata : ”Apakah engkau mengijinkanku untuk mengumandangkan adzan ?”.
Kemudian dia berdiri dan adzan pada waktu air mata mengalir di kedua mataku.
Posting Komentar