Gus Dur Bukan Tokoh Pluralis
Daftar Isi
Inayah Wulandari Wahid, putri bungsu mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), punya pandangan agak berbeda dengan masyarakat banyak tentang sosok ayahandanya.
Jika masyarakat umumnya menyebut Gus Dur sebagai tokoh pluralisme, tidak demikian dengan Inayah. Inayah justru menyatakan, Gus Dur bukan tokoh pluralisme. Sebab, yang diperjuangkan Gus Dur bukan pluralisme, tapi sisi kemanusiaannya.
“Ketika dia mati-matian membela orang China, Ahmadiyah, Nasrani, dan orang-orang termarjinalkan lainnya, yang diperjuangkan bukan Chinanya, bukan Ahmadiyahnya, bukan Nasraninya, melainkan manusianya. Jadi lebih tepat dikatakan Gus Dur itu tokoh humanis,” kata Inayah.
Pernyataan itu disampaikan saat berbicara kepada ratusan undangan pada acara Peringatan 1000 Hari Wafatnya Gus Dur di halaman Gereja Katolik Jombang, Senin (15/10/2012) malam.
Acara yang berlangsung hingga tengah malam itu digelar Komunitas Lintas Iman Jombang. Hadir diantaranya Wabup Widjono Soeparno, sejumlah kiai dan pendeta setempat.
Menurut Inayah, Gus Dur sendiri juga tidak pernah menyebut dirinya pluralis, melainkan humanis. “Bahkan Gus Dur pernah berpesan agar di pusaranya ditulis ‘Di Sini Dimakamkan seorang Humanis’,” imbuh gadis yang agak cedal saat melafalkan huruf "R" itu.
Bagi Inayah, Gus Dur sendiri dianggap pahlawan yang tidak pernah berhenti berjuang demi bangsa dan negaranya. Tapi anehnya, menurut Inayah, orang-orang semacam Gus Dur itu, ketika hidup lebih banyak di-‘kuyo-kuyo’. “Lihat saja Mahatma Gandhi dari India misalnya,” cetus Inayah.
Acaranya sendiri berlangsung cukup menarik. Diantaranya diwarnai atraksi barongsai, keroncong anak, koor ibu-ibu, serta orkestra. Kelompok-kelompok musik itu membawakan lagu-lagu yang akrab di telinga penonton, dan bahkan dilantunkan Gus Dur.
Seperti lagu Tombo Ati, Syiir Tanpa Waton, serta dan musik klasik favorit Gus Dur, Ode to Joy (Simphony ke-9) gubahan Bethoven. “Saya pernah membaca, Gus Dur sebelum meninggal ingin sekali mendengarkan Ode to Joy ini,” kata Aan Anshori, panitia pelaksana.
[ surabaya.tribunnews.com ]
Jika masyarakat umumnya menyebut Gus Dur sebagai tokoh pluralisme, tidak demikian dengan Inayah. Inayah justru menyatakan, Gus Dur bukan tokoh pluralisme. Sebab, yang diperjuangkan Gus Dur bukan pluralisme, tapi sisi kemanusiaannya.
“Ketika dia mati-matian membela orang China, Ahmadiyah, Nasrani, dan orang-orang termarjinalkan lainnya, yang diperjuangkan bukan Chinanya, bukan Ahmadiyahnya, bukan Nasraninya, melainkan manusianya. Jadi lebih tepat dikatakan Gus Dur itu tokoh humanis,” kata Inayah.
Pernyataan itu disampaikan saat berbicara kepada ratusan undangan pada acara Peringatan 1000 Hari Wafatnya Gus Dur di halaman Gereja Katolik Jombang, Senin (15/10/2012) malam.
Acara yang berlangsung hingga tengah malam itu digelar Komunitas Lintas Iman Jombang. Hadir diantaranya Wabup Widjono Soeparno, sejumlah kiai dan pendeta setempat.
Menurut Inayah, Gus Dur sendiri juga tidak pernah menyebut dirinya pluralis, melainkan humanis. “Bahkan Gus Dur pernah berpesan agar di pusaranya ditulis ‘Di Sini Dimakamkan seorang Humanis’,” imbuh gadis yang agak cedal saat melafalkan huruf "R" itu.
Bagi Inayah, Gus Dur sendiri dianggap pahlawan yang tidak pernah berhenti berjuang demi bangsa dan negaranya. Tapi anehnya, menurut Inayah, orang-orang semacam Gus Dur itu, ketika hidup lebih banyak di-‘kuyo-kuyo’. “Lihat saja Mahatma Gandhi dari India misalnya,” cetus Inayah.
Acaranya sendiri berlangsung cukup menarik. Diantaranya diwarnai atraksi barongsai, keroncong anak, koor ibu-ibu, serta orkestra. Kelompok-kelompok musik itu membawakan lagu-lagu yang akrab di telinga penonton, dan bahkan dilantunkan Gus Dur.
Seperti lagu Tombo Ati, Syiir Tanpa Waton, serta dan musik klasik favorit Gus Dur, Ode to Joy (Simphony ke-9) gubahan Bethoven. “Saya pernah membaca, Gus Dur sebelum meninggal ingin sekali mendengarkan Ode to Joy ini,” kata Aan Anshori, panitia pelaksana.
[ surabaya.tribunnews.com ]
Posting Komentar