cfFp0twC8a3yW2yPPC8wDumW5SuwcdlZsJFakior
Bookmark

Uang Seratus Ribu Jadi Milyaran

Anik dan Jody
Steak identik dengan mahal. Tetapi, tidak dengan steak di Waroeng Steak. Ternyata, modal awal usaha yang kini beromzet milyaran ini hanya seratus ribu. Bagaimana ceritanya?

Adalah Siti Hariani (38) dan Jody Brotoseno (38), pendiri Waroeng Steak yang kini memiliki lebih dari 30 cabang. Cabang-cabang tersebut tersebar di Yogyakarta, Semarang, Jabodetabek, Bandung, Solo, Surabaya, Bali, hingga di Sumatera.

Pasutri asal Solo yang menikah pada 1998 ini membuka Waroeng Steak kali pertama pada tahun 2000 di Jalan Cendrawasih Nomor 30, Demangan, Yogyakarta. “Semua berawal dari keterpaksaan. Keterpaksaan akan kebutuhan ekonomi,” ujar Anik, sapaan akrab Siti Hariani.

Setelah menikah pada 1998, Anik dan suaminya memutuskan untuk membuka usaha. Meski menempuh bangku kuliah, keduanya tidak sampai tamat. Awalnya, mereka berjualan susu segar. Usaha ini berbentuk kaki lima. Sayang, hasil yang didapat kurang cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka pun beralih berjualan roti bakar. Bentuknya pun kaki lima. Selain itu, mereka juga menjajakan jus. Sayang, usaha ini pun gagal. “Barang-barang kami banyak yang dicuri orang,” jelas Anik. “Satu per satu kami bersusah payah membeli peralatan, tetapi satu per satu hilang juga,” tambahnya.

Tidak berhasil berdagang makanan, mereka pun beralih berdagang kaus. “Kami jualan kaus-kaus partai,” papar Anik. Kali ini, usahanya menuai hasil yang lumayan. Berbekal keuntungan usaha berjualan kaos partai, mereka hijrah ke Yogyakarta. Di Yogyakarta, mereka menyewa untuk tempat tinggal, sebuah rumah kecil di Jalan Cendrawasih Nomor 30, Demangan. Mereka pun bekerja di rumah makan milik orang tua Jody, Obong Steak. Sejak menikah, Anik dan Jody bertekad mandiri dan tidak mengandalkan orang tua. Karenanya, meski bekerja pada usaha orangtua Jody, mereka digaji sama dengan karyawan lain.

Mencicil Peralatan
Saat itu, Anik dan Jody telah memiliki anak pertama yang dinamai Yuga Adiaksa (14). Kondisi itu yang membuat Anik dan Jody memutar otak untuk memiliki suatu usaha. “Kami ingin mencari tambahan,” ujarnya.

Anik yang hobi masak melontarkan ide pada suaminya untuk membuat warung makan. Anik pun teringat pada rumah makan steak milik mertuanya, Obong Steak. “Di Obong Steak, harga steaknya mahal. Kebanyakan yang makan di tempat itu golongan menengah ke atas,” ujar ibu empat anak itu.

Akhirnya, Anik menemukan ide berjualan steak. Berbeda dengan usaha mertuanya, ia ingin menjual steak dengan harga yang murah sehingga terjangkau oleh konsumen dengan dompet tipis dan mahasiswa. Kebetulan, kontrakan mereka berdekatan dengan kampus. “Suami sepakat dengan ide saya. Tetapi, kami tidak punya modal. Kami bahkan hanya punya uang seratus ribu saat itu,” ceritanya.

Kemudian, uang itu pun ia gunakan untuk membeli sepuluh hotplate. Mereka pun nyicil untuk membeli peralatan. Setelah merasa memiliki peralatan yang cukup, pada 4 September 2000, mereka berani membuka warung makan yang dinamai Waroeng Steak & Shake.

Karena tidak mampu menyewa tempat, mereka memanfaatkan teras rumah mereka. Awal membuka Waroeng Steak & Shake, mereka baru memiliki lima meja dan sepuluh hotplate.

Ramai
Pertama kali buka, warung mereka ramai dikunjungi orang, terutama mahasiswa. Bagaimana para konsumen tahu? “Pertama lokasi kami di pinggir jalan, kedua sebelumnya kami telah menyebar selebaran ke kampus-kampus, dan ketiga kami memasang spanduk besar-besaran di depan warung kami. Spanduk itu kami buat mencolok, sehingga mengundang ketertarikan orang,” jelas Anik. Namun, karena mereka hanya memiliki lima meja dan sepuluh hotplate, banyak tamu yang mengeluh. “Meja dan hotplate sedikit, sedangkan tamu yang datang banyak. Jadi, mereka harus antri. Bahkan, kami terpaksa mengambil hotplate yang sudah tidak ada isinya, padahal konsumen masih duduk-duduk di situ,” jelas Anik.

Karena pengunjung semakin ramai, Anik pun mempekerjakan dua karyawan dan satu pembantu. Meski warungnya ramai disambangi pembeli, keuntungan mereka di bulan pertama tidak tinggi. “Bahkan, kami pernah dalam satu hari itu kami cuma untung 30 ribu. Pokoknya kalau dalam satu hari kami untung 100 ribu, itu sudah sangat tinggi di bulan-bulan awal,” kenang Anik.

Setahun kemudian, usaha mereka bisa dibilang berhasil. Mereka pun telah memiliki banyak pelanggan. Karena pembeli semakin banyak, mereka pun membuka cabang di Jalan Colombo, Yogyakarta, tak jauh dari Waroeng Steak & Shake yang pertama.

Berkembang
Waroeng Steak & Shake menyediakan beragam menu steak original dan steak goreng pakai tepung. Ada steak sirloin, beef, black pepper, tenderloin, chicken, dan shrimp. Pangsa pasar utama Waroeng Steak adalah mahasiswa. Karenanya, harganya dibuat murah. “Motto kami, rasa nikmat harga hemat,” ujar Anik. Bahkan, mereka pun menyediakan nasi.

Seiring dengan berkembangnya Waroeng Steak & Shake, konsumen pun meluas. Tak lagi hanya mahasiswa, namun juga keluarga. Mereka pun terus mengembangkan menu. “Dari permintaan konsumen, kami menciptakan menu nasi paprika ayam dan nasi paprika sapi,” ujar Jody.

Dari mana mereka menemukan menu-menu tersebut? “Kami baca-baca majalah saja. Lalu mengkreasikan sendiri,” jelas Anik. “Ya menu-menu Waroeng Steak semua buatan isteri saya. Dia juga yang menciptakan pakem untuk tiap menu di tiap Waroeng Steak kami,” tambah Jody.

Kini, Waroeng Steak milik Anik dan Jody telah memiliki lebih dari 30 outlet yang tersebar di berbagai kota. Omzet keseluruhannya bisa mencapai Rp 3 milyar per bulan. *ikh/foto: dok.Nyata.

Dikutip dari nyata.co.id
close