Rahasia Sukses Orang Tionghoa di Indonesia: Bukan Kerja Keras, Melainkan Kebijakan Ini
Rahasia sukses orang Tionghoa di Indonesia yang jarang diketahui. Temukan fakta menarik mengenai kebijakan kolonial yang berperan dalam membentuk kekuatan ekonomi komunitas Tionghoa di masa lalu.
Gambar: folderbisnis.com |
Orang Tionghoa di Indonesia sering diasosiasikan dengan kesuksesan dan kekayaan. Banyak orang yang mengira bahwa kesuksesan tersebut berasal dari prinsip hidup keras, hemat, dan penuh perencanaan. Namun, benarkah demikian?
Menurut sejarawan Ong Hok Ham, kesuksesan komunitas Tionghoa di Indonesia tak hanya sekadar hasil dari kerja keras atau gaya hidup hemat. Ada faktor sejarah lain yang turut berperan besar dalam membentuk keberhasilan ekonomi mereka, yaitu kebijakan kolonial VOC yang rasialis.
Kebijakan Wijkenstelsel dan Passenstelsel: Awal dari Segalanya
Sejarah mencatat bahwa pada masa kolonial, pemerintah VOC menerapkan dua kebijakan penting yang sangat berdampak pada kehidupan masyarakat Tionghoa, yaitu Wijkenstelsel dan Passenstelsel.
Wijkenstelsel merupakan kebijakan pengelompokan wilayah berdasarkan etnis. Kebijakan ini bertujuan untuk mengisolasi kelompok etnis agar mudah diawasi, termasuk etnis Tionghoa. Di sisi lain, Passenstelsel adalah kebijakan pembatasan gerak yang membuat etnis Tionghoa tidak bisa bebas berpergian tanpa izin dari pemerintah kolonial.
Kedua kebijakan ini muncul setelah insiden besar di tahun 1740, ketika terjadi konflik antara masyarakat Tionghoa dan VOC yang berujung pada pembantaian massal orang Tionghoa di Batavia. Akibat insiden ini, VOC merasa perlu untuk memisahkan dan mengontrol orang Tionghoa secara ketat agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Dampak Kebijakan terhadap Komunitas Tionghoa
Kebijakan Wijkenstelsel dan Passenstelsel tidak hanya diterapkan di Batavia, tapi juga meluas ke wilayah lain seperti Semarang, Rembang, dan Yogyakarta. Orang Tionghoa diwajibkan tinggal di daerah yang telah ditentukan. Jika mereka ingin bepergian keluar dari wilayah tersebut, mereka harus mengajukan izin resmi dengan memberikan informasi detail tentang tujuan, moda transportasi, dan durasi perjalanan. Izin ini juga dikenakan biaya, dan pelanggar aturan akan didenda atau bahkan dipenjara.
Meski pada awalnya kebijakan ini tampak represif dan merugikan, ada sisi lain dari isolasi ini yang justru menguntungkan komunitas Tionghoa. Mereka yang umumnya berprofesi sebagai pedagang menjadi semakin solid dan terfokus dalam mengembangkan bisnis mereka. Interaksi terbatas dengan komunitas lain membuat mereka lebih intens dalam bekerja sama di antara sesama pedagang Tionghoa.
Modal Menikah dengan Modal: Awal Munculnya Kapitalisme
Sejarawan Ong Hok Ham menyebut fenomena ini sebagai "modal menikah dengan modal". Artinya, melalui jaringan pernikahan antar keluarga pedagang, modal finansial digabungkan untuk menciptakan modal baru yang lebih besar. Kombinasi ini mendorong lahirnya kekuatan ekonomi baru di kalangan komunitas Tionghoa yang pada akhirnya memperkuat posisi mereka dalam perdagangan lokal.
“Tak pelak lagi terjadilah 'modal nikah dengan modal' dan menumbuhkan kapitalisme di Kampung Cina,”tulis Ong Hok Ham dalam bukunya Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018: 139).
Kampung Cina di berbagai kota besar Indonesia kemudian menjadi pusat ekonomi yang kuat. Salah satu contoh paling terkenal adalah Oei Tiong Ham, yang dikenal sebagai Raja Gula dan menjadi orang terkaya di Hindia Belanda pada abad ke-20. Lahirnya kapitalisme di Kampung Cina mengukuhkan citra bahwa komunitas Tionghoa identik dengan kesuksesan ekonomi.
Realitas Kesuksesan Orang Tionghoa di Indonesia
Kebangkitan kapitalisme di Kampung Cina menciptakan kesan di kalangan masyarakat bahwa orang Tionghoa pasti kaya raya dan eksklusif. Namun, kenyataannya tidak semua orang Tionghoa berada dalam posisi ekonomi yang menguntungkan. Banyak di antara mereka yang juga mengalami kemiskinan.
Sejarawan Ong Hok Ham menegaskan bahwa kesuksesan ekonomi orang Tionghoa di Indonesia tidak murni berasal dari kerja keras dan hidup hemat. Sistem yang berlaku pada masa kolonial, seperti kebijakan Wijkenstelsel dan Passenstelsel, turut memberi kontribusi besar dalam mengembangkan kapitalisme di kalangan mereka.
“Sebab, kalau benar kerja keras dan hidup hemat dapat menimbulkan kapitalis, maka kalangan petani yang bekerja lebih keras dan hidup lebih hemat daripada pengusaha kota banyak yang jadi jutawan. Namun, ini tak terjadi,” tegas Ong Hok Ham dalam karyanya Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa (2005: 129).
Kesimpulan
Kisah sukses orang Tionghoa di Indonesia tidak dapat dilihat dari satu sisi saja. Memang, kerja keras dan hidup hemat adalah bagian dari etos hidup mereka, tetapi faktor sejarah, seperti kebijakan VOC pada masa kolonial, juga berperan penting dalam membentuk kondisi ekonomi yang ada. Dalam konteks ini, kesuksesan yang mereka capai lebih banyak dipengaruhi oleh struktur sistem yang berlaku pada masa lalu.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sejarah dan pengaruh komunitas Tionghoa di Indonesia, Anda bisa membaca sumber-sumber lain seperti Tionghoa Indonesia di Wikipedia atau buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik karya Benny G. Setiono.
Posting Komentar